Senin, 24 Januari 2011

Bila.... ( puisi renungan di kala merindukan rasulullah )


Bila Maulana Muhammad,
Rasulullah yang mulia,
datang mengunjungi kita,
barang sehari atau dua.
Bila tiba-tiba kekasih Tuhan itu datang
tak disangka-sangka,
apakah yang akan kita lakukan?

Akankah kita menyediakan ruangan terbaik,
bagi tamu kita yang terhormat itu,
Maulana Muhammad Rasulullah SAW,
dan kita akan meyakinkannya
bahwa kita begitu berbahagia
dikunjungi olehnya. Melayaninya
adalah suatu kehormatan yang tak terkira.

Lalu apabila hari itu datang,
bila Maulana mengetuk pintu rumah kita
dan mulai menyapa dengan salam,
“Assalâmu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh,”
Apakah kita akan menjawabnya
dengan kata-kata biasa, seperti keseharian kita,
“Hei Rasul, selamat malam! Duduklah! Apa kabar?”

Ini bila, bila Maulana Rasulullah yang agung itu,
pujaan kita, datang ke rumah kita,
apakah kita harus mengganti pakaian
sebelum menyilakannya masuk?
Mengganti penampilan
agar lebih sopan dan pantas,
atau bagaimana?

Lalu bila ia mulai melangkah masuk,
perlukah kita menyembunyikan seluruh
majalah dan koran-koran kuning
sambil mengedepankan Al-Quran
dari posisinya yang paling bawah
dan membersihkannya dari debu-debu
dan berkata, “Wahai Rasul,
ini Al-Quran ya Rasul,
setiap hari aku membacanya!”
Atau bagaimana?

Bila Rasulullah tersenyum ke arah kita,
sementara televisi menyala,
majalah-majalah terbuka, bagaimana?
Apakah kita akan segera
mematikan dan menutupnya?
Haruskah kita menjelaskan kepadanya,
“Ini majalah orang dewasa, wahai Rasul,
dulu tidak ada. Ini infotainment, ya Rasul.
Ini film Holywood!”
Atau bagaimana?

Ya, bila Rasulullah datang ke rumah kita,
mengetuk pintu rumah kita, bagaimana?

Bila ia mulai melangkah masuk ke rumah kita
bila ia tersenyum ke arah kita
bila ia menyapa kita
bila ia menyalami kita, bagaimana?

Bila pipi kita bersentuhan
dengan pipi-pipi sucinya
bila mata kita bertemu
dengan tatapan sucinya
bila telinga kita mendengar salam
dari lisan sucinya,
bagaimana?

Dan bila kita sedang mendengarkan
musik yang begitu indah
dan kita dengar musiknya mengentak,
lalu pinggul kita mulai bergoyang
seperti goyang penyanyinya yang telanjang
apakah kau akan berkata padanya,
“Musik, ya Rasul! This is music ya Rasul.
Rasul mau ikut berjoget? Enak ya Rasul?”
Atau bagaimana?

Rumit. Ya, Terlalu banyak
yang harus kita jelaskan kepadanya.
Tentang semuanya.

Ini bila,
bila Maulana Muhammad Rasulullah
mengunjungi kita, masihkah
kita memakai kata-kata lazim
yang selalu pedas dan kotor itu,
“Anjing! Goblok! Setan!”
Atau bagaimana?

Bila Rasulullah memutuskan
untuk bermalam di rumah kita,
akankah kita mengalami
kesulitan di saat makan?
Misalnya, untuk mengucapkan rasa syukur
dengan berkata, “Alhamdulillâhirabbil’âlamîn,”
Atau bagaimana?

Akankah kita kesulitan saat harus
mengucapkan ketakjuban kita
dengan berkata, “Subhanallah”
akankah kita kesulitan untuk menyesali
kesalahan kita dengan bekata,
“Astagfirullahaladzhim”
Atau bagaimana?

Atau masihkah kita
memakai kata-kata biasa,
Seperti kata-kata yang biasa
kita pakai di keseharian kita,
“Aduh, Anjing, Goblok!”

Lalu yang lebih menarik lagi,
mampukah kita bangun subuh
dari kebiasaan kita bangun siang?
Akankah kita berkata
pada Rasul yang mulia itu,
“Baginda Rasul, bangun pagi
adalah kebiasaan kami, ya Rasul.
Sebelum azan awal pun
kami sudah bangun, ya Rasul!
Kami tak usah dibangunkan mu’azin.
Shalat subuh adalah hobi kami!”
Atau bagaimana?

Dan apabila Rasulullah mengajak kita
berjalan-jalan di kota.
Ke mall, ke restoran,
ke toko-toko, ke seluruhnya.
Ke bioskop, ke bar, ke semuanya.
Ke tempat disko, di kota kita yang indah,
bagaimana?

Apakah kita akan menjelaskan kepadanya,
di toko, “Ya Rasul, ini pakaian dalam!
Ini pakaian luar, ya Rasul!”

Menarik bukan?
Kita harus menjelaskan semuanya!

Kalau kau berpikir suatu saat
Rasulullah datang mengunjungi kita...
Lalu bagaimana bila dua hari itu selesai
dan Maulana Rasulullah harus pulang?
Apakah kita akan berkata,
“Huh bebas! Akhirnya dia pulang juga! Merdeka!”
Atau bagaimana?

Kau, kalian, kita semua harus menjelaskannya!

Atau akankah kita menatap lekat punggungnya
dengan kesedihan luar biasa, bila Rasulullah Saw.
yang kita cintai itu lari,
bila tamu kita yang agung nan surgawi itu
pulang untuk selama-lamanya
dengan punggung yang menjauh,
menjelma sunyi, meninggalkan kita semua.
Bagaimana?

Apakah kita akan membacakan
shalawat untuknya?
Bila “ya”, apakah kita
memang hafal bacaan shalawat?

Bila Rasulullah Saw. pulang
dari rumah kita, dan tak akan pernah
berkunjung lagi, akankah kita selalu rindu,
akankah kita menyesal
telah menyia-nyiakan kunjungannya
sambil bersenandung syahdu,
“Ya Rasul salâm ‘alaika…
Ya Nabi salam alaika...
Ya habîb salâm ‘alaika..
Shalawâtullâh ‘alaika…”
Atau bagaimana?

Bila ia datang, bila kita menjamunya
bila ia pulang, bila ia lari meninggalkan kita
bila ia tak akan berkunjung lagi ke rumah kita
bila kita tak akan menemuinya lagi
bila kita tak akan menatapnya lagi
bagaimana?

Ini bila
bila Rasulullah, Maulana Muhammad
datang ke rumah kita;
kau, kita, harus menjelaskan semuanya!

Digubah dari puisi karya Camelia Bader, penyair Pakistan, berjudul Aku Ingin Tahu.
*Akhirnya saya menemukan puisi ini, pertama kali saya dengarkan ketika saya sedang mengikuti talk show di Al Azhar, sungguh sebuah puisi yang menginspirasi sekaligus mengingatkan pribadi diri.

Mencari makanan yang paling lezat...!!!

Browsing... salah satu aktivitas saya yang bisa membunuh waktu, entah apakah baca berita, lihat-lihat artikel atau memandang gambar yang banyak berkeliaran di halamannya paman Google, secara tidak sengaja sebuah gambar yang saya temukan, membuat saya merasa tersentil dan mampu menggugah kenangan lama yang sering kali saya terlupa.

Kalau diperhatikan gambar diatas, betapa mirisnya melihat seorang anak kecil yang mengais sepotong roti demi memenuhi rasa lapar perutnya yang meronta-ronta memerangi kerasnya kehidupan. Mungkin bagi saya... melihat pemandangan seperti itu saat ini tidaklah mudah, jika bercermin pada kehidupan lingkungan sekitar saya, lingkungan yang penuh dengan kemapanan, meskipun standart mapan bagi saya maupun orang lain juga bisa jadi berbeda.

Untuk sementara, saya tidak ingin membahas soal kemiskinan atau ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat, karena saya sendiri merasa, bukanlah proporsi saya untuk bicara akan hal itu, orang-orang yang duduk sebagai pejabat pemerintahan, tentunya cukup pintar atau setidaknya merasa lebih pintar dari rakyatnya untuk mengatur wilayahnya.

Yang ada di benak saya justru kata-kata ayah saya ketika saya masih muda... hehehe, ternyata mengaku juga kalau sekarang sudah tidak muda, mungkin tepatnya lebih dewasa kali ya... ^^

"Mangan kuwi lawuhe sing enak yo luwe" kira-kira seperti itulah pesan dari ayah saya, untuk orang yang bisa bahasa jawa pasti faham, untuk yang masih bingung artinya kira-kira kalau di terjemahkan menggunakan google translate seperti ini "makan itu paling enak dengan lauk rasa lapar", sebuah pesan yang sederhana tapi kalau dicerna dengan nalar sungguh maknanya jauh luar biasa.

Seringkali kita (termasuk saya sendiri) merasa bosan dengan menu masakan yang kita jumpai sehari-hari, bosan dengan masakan ibu, istri sendiri ( jangan istri orang lain ya...!!! ), menu kantin, atau warteg yang sering jadi langganan setiap saat kecuali sama mbak-mbak yang jualan di warteg sih... hehehe.

Di sadari atau tidak, sebenarnya kunci dari kelezatan makanan yang nantinya bakal dinikmati, terletak pada seberapa besar rasa lapar yang dirasakan, semakin besar rasa lapar itu ada, semakin keras perut ini berdendang, maka semakin lezat pula makanan yang akan kita makan, tentunya selain fisik juga dalam kondisi sehat.

Semakin kuat kita menahan rasa lapar itu tiba, semakin besar rasa sabar yang akan dilatih oleh diri kita, semakin sering kita bersabar semakin lapang hati ini menghadapi segala macam persoalan kehidupan yang mungkin tidak lebih sulit dari sekedar menahan rasa lapar sesaat.

Jadi... sebagai penutup coretan saya untuk selalu introspeksi diri sendiri, sebaiknya mulai saat ini marilah kita berprinsip "makanlah di saat kita benar-benar lapar dan berhentilah sebelum terlalu kenyang", agar makanan menjadi jauh terasa lebih nikmat dan kita tidak merasa jenuh karena terlalu berlebihan.